Sabtu, 21 Juni 2014

Bertolt Brecht ‘To Those Who Follow in Our Wake’ or 'To Posterity'

I
Truly, I live in dark times!
An artless word is foolish. A smooth forehead
Points to insensitivity. He who laughs
Has not yet received
The terrible news.
What times are these, in which
A conversation about trees is almost a crime
For in doing so we maintain our silence about so much wrongdoing!
And he who walks quietly across the street,
Passes out of the reach of his friends
Who are in danger?
It is true: I work for a living
But, believe me, that is a coincidence. Nothing
That I do gives me the right to eat my fill.
By chance I have been spared. (If my luck does not hold,
I am lost.)
They tell me: eat and drink. Be glad to be among the haves!
But how can I eat and drink
When I take what I eat from the starving
And those who thirst do not have my glass of water?
And yet I eat and drink.
I would happily be wise.
The old books teach us what wisdom is:
To retreat from the strife of the world
To live out the brief time that is your lot
Without fear
To make your way without violence
To repay evil with good –
The wise do not seek to satisfy their desires,
But to forget them.
But I cannot heed this:
Truly I live in dark times!
II
I came into the cities in a time of disorder
As hunger reigned.
I came among men in a time of turmoil
And I rose up with them.
And so passed
The time given to me on earth.
I ate my food between slaughters.
I laid down to sleep among murderers.
I tended to love with abandon.
I looked upon nature with impatience.
And so passed
The time given to me on earth.
In my time streets led into a swamp.
My language betrayed me to the slaughterer.
There was little I could do. But without me
The rulers sat more securely, or so I hoped.
And so passed
The time given to me on earth.
The powers were so limited. The goal
Lay far in the distance
It could clearly be seen although even I
Could hardly hope to reach it.
And so passed
The time given to me on earth.
III
You, who shall resurface following the flood
In which we have perished,
Contemplate –
When you speak of our weaknesses,
Also the dark time
That you have escaped.
For we went forth, changing our country more frequently than our shoes
Through the class warfare, despairing
That there was only injustice and no outrage.
And yet we knew:
Even the hatred of squalor
Distorts one’s features.
Even anger against injustice
Makes the voice grow hoarse. We
Who wished to lay the foundation for gentleness
Could not ourselves be gentle.
But you, when at last the time comes
That man can aid his fellow man,
Should think upon us
With leniency.

Rabu, 19 Maret 2014

Tricky question during job's interview

Tricky question during job's interview : name 3 of your weaknesses, the best answer for this :

1. I am perfectionist. I can not stop working till i complete it best. And its bad sometime as i work late to finish it : HARDWORKER

2. I love expensive gadget / fashion / food. This is bad because to achieve this i have to work harder to make a better salary or income : AMBITIOUS

3. I like to tell people what to do and criticize their work if it is not good. Its bad sometime because i might loose some friends if they take it wrong : LEADERSHIP 

Selasa, 11 Maret 2014

Nyanyian Angsa ~ W.S. Rendra

Ini bentuk puisi yang bercerita dan saya sangat suka, mirip sebuah prosa. Berikut petikannya:
~~~
Nyanyian Angsa ~ W.S. Rendra
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”
(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”
(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)
Jam satu siang.
Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)
Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)
Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.
Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).
Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.
(Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)
Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)
Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.
Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”
(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)
~~~

Minggu, 15 Desember 2013

home

“Is it possible for home to be a person and not a place?” seperti yang ditanyakan Stephanie Perkins, penulis Anna and the French Kiss.

Selasa, 10 Desember 2013

pasta

pasta yang saya maksud disini bukan makanan, tapi judul sebuah drama korea yang disiarkan di indosiar pertengahan 2011 di siang hari ba'da dhuhur.

saya bukan fans drama korea, tapi jadi tertarik nonton gara2 calon istri saya, jenny, yang nonton pas kita lagi teleponan, awalnya saya kira ini tipikal drama korea yang menye2 itu, tapi ternyata ceritanya lucu dan seru. yaitu tentang seorang koki cewe yang bekerja di restoran masakan italia, dimana dia suka sama chef kepalanya yang galak dan "kejam" XD

sejak itu, kita berdua selalu nonton sambil teleponan, ya maklum kami terpisah jarak, saya di jember, jenny di malang..
biasanya kita telepon sambil komentarin adegan2annya, atau waktu iklan kita jadi ketawa bareng hehehe
biasanya abis nonton, ngomongin ceritanya, terus nebak2 episode selanjutnya kaya gimana :D

pasta, sangat berkesan karena ceritanya lucu, dan nontonnya bareng calon istri pula :3
sampe2 saya download semua episodenya, lalo ditonton bareng lagi hihihi

sampe sekarang belom ada tontonan yang bisa bikin kami merasakan keriaan saat menonton pasta bareng, karena sekarang jenny kerja di rumah sakit yang sistemnya shift sementara saya masih serabutan kerjanya, jadi jarang banget bisa nonton bareng.

pernah sih waktu itu nonton bareng dian sastro's "ada apa dengan cinta", tapi kesannya ga mengena kaya pasta ini :p

one day when we're married, surely we will watch pasta again, this time side by side 

Selasa, 10 April 2012

If tomorrow never comes


If tomorrow never comes...

If I knew it would be the last time that I'd see you fall asleep,
I would tuck you in more tightly, and pray the Lord your soul to keep.
If I knew it would be the last time that I'd see you walk out the door,
I would give you a hug and kiss, and call you back for just one more.

If I knew it would be the last time I'd hear your voice lifted up in praise,
I would tape each word and action, and play them back throughout my days
If I knew it would be the last time, I would spare an extra minute or two,
To stop and say "I love you," instead of assuming you know I do.

So just in case tomorrow never comes, and today is all I get,
I'd like to say how much I love you, and I hope we never will forget.
Tomorrow is not promised to anyone, young or old alike,
And today may be the last chance you get to hold your loved one tight.

So if you're waiting for tomorrow, why not do it today?
For if tomorrow never comes, you'll surely regret the day
That you didn't take that extra time for a smile, a hug, or a kiss,
And you were too busy to grant someone, what turned out to be their one last wish.

So hold your loved ones close today, and whisper in their ear,
That you love them very much, and you'll always hold them dear.
Take time to say "I'm sorry," "Please forgive me," "thank you" or "it's okay".
And if tomorrow never comes, you'll have no regrets about today.



© Norma Cornett Marek ~ 1989
Visit Norma Marek's websiteNorma Cornett Marek has a published book of her poems which can be purchased at http://www.judysrealm.com/whispers/

Minggu, 25 Maret 2012

menatap masa depan

kenapa kita ga bisa lepas dari masa lalu?

well, karena memang masa lalu itu kan emang kelakuan kita sendiri

hahaha

tapi ketika kita terpaku oleh masa lalu dan lupa menatap masa depan, itu yang bahaya


hahaha, cukup ah, ini aja sebagai pembuka blog baru